//
you're reading...
Uncategorized

MARHAENISME SOEKARNO; JEJAK PEMIKIRAN KIRI MODERAT INDONESIA

MARHAENISME SOEKARNO;

JEJAK PEMIKIRAN KIRI MODERAT INDONESIA[1]

Rusmadi [2]

Para penganjur sosialisme percaya bahwa masyarakat mengalami perkembangan sesuai  tahapannya. Mereka percaya bahwa tahapan masyarakat dimulai dari masyarakat perbudakan rasis, kemudian masyarakat feodal yang monopolis, lalu berganti menjadi masyarakat kapitalis yang liberalis, dan berakhir pada masyarakat komunisme-sosialis. Berbeda dengan tahapan sebelumnya dimana masyarakat masih terkungkung pada pertentangan kelas sosial. Pada masyarakat komunisme-sosialis sudah tidak ada lagi pertentangan kelas. Cita-cita masyarakat sosialis sebenarnya sudah menjadi kesepakatan umum para penganjur sosialisme, terutama pengikut Marx. Akan tetapi mereka berbeda di dalam cara mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis itu. Ada dari mereka yang melakukannya dengan gerakan revolusi kiri yang lebih fundamentalis, seperti Lenin dan Luxemburg. Tetapi terdapat juga mereka yang melakukannya secara moderat, seperti misalnya Eduard Berstein yang memilih perjuangannya melalui parlemen.

Ketika Bung Karno ‘memperkenalkan’ Marhaenisme sebagai ideologi PNI pada tanggal 4 Juli 1927, banyak orang yang ‘kebingungan’ atau bersikap sinis (kelompok nasionalis-borjuasi) dan mencibirnya (kelompok Marxist-Leninist). Ada yang –bahkan- menganggap Bung Karno hanya sekedar melakukan ‘copy – paste’ pemikiran kiri Karl Marx dalam mendefiniskan sosialisme Indonesia. Tetapi satu hal yang tidak terbantahkan: sebagian besar pengikut marhaenisme Bung Karno cukup fasih menghafalkan definisi Marhaenisme, yaitu “Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi’ atau “Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia”. Terlepas dari cibiran dan sinisme, pemikiran Soekarno benar-benar menjadi narasi hegemonik dalam sejarah pergerakan Indonesia.  Hampir sulit untuk mengelak, ketika kita membicarakan sejarah pergerakan Indonesia, nama dan pemikiran Soekarno dipastikan masuk di dalam pembicaraan. Peter Kasenda, saat berbicara tentang akar pemikiran kiri dan revolusi Indonesia, juga nyata-nyata meletakan Soekarno sebagai entri point pemikiran kiri dan revolusi Indonesia.

Sudah mafhum, bahwa pemikiran Soekarno tidak bisa dilepaskan dari pemikiran kiri paling fundamental: Marxisme dan Leninisme. Soekarno sendiri mengakuinya jika ia begitu terpengaruh oleh kedua pemikir kiri itu (termasuk juga pemikiran Angels). Nasionalisme di dunia timur, berkawinlah dengan dengan Marxisme menjadi satu nasionalisme baru, menjadi senjata baru”, demikian kata Soekarno. Lebih jauh ia menjadi anak sungai besar yang mengalirkan paham yang kemudian sohor disebut “kiri” dalam arus sejarah Indonesia. Soekarno memandang pemikiran kiri adalah api pembakar revolusi Indonesia. Pemikiran Karl Marx seringkali dijadikannya sebagai pisau analisis untuk membedah struktur masyarakat, system feudal, dan kolonialisme yang berlangsung di Indonesia. Tetapi, sebagaimana Peter Kasenda mempertanyakannya, benarkah revolusi Indonesia adalah revolusi kiri? Kita memang sulit memisahkannya secara diametral, antara Marxisme dan pemikiran kiri, karena pemikiran kiri pada mulanya memang lahir dari rahim di kepala Karl Marx. Tetapi menyebut revolusi Indonesia sebagai revolusi kiri adalah bentuk penarikan kesimpulan yang terlampau sederhana.

Ada banyak penanda yang perlu dibaca ulang. Salah satu misalnya, Marx tidak pernah bicara soal Islam, bahkan agama ditaruhnya dalam tong sampah karena ia hanya opium. Sementara Soekarno menampatkan Islam sebagai bagian dari ideologi tidak terpisahkan di dalam membangun Marhaenisme. Di saat yang sama, Soekarno percaya pada proses bertahap yang konstitusional, dimana perubahan sosial harus ditempuh melalui struktur negara, sehingga Soekarno percaya akan pentingnya demokrasi dan persatuan nasional. Sementara bagi Marx, perubahan sosial harus dimulai dengan jalan revolusi dan perjuangan kelas. Meskipun Soekarno juga adalah dalang Revolusi Indonesia, akan tetapi pada hemat saya ruh revolusinya berbeda dengan seperti yang dipikirkan Marx. Satu hal yang gamblang, Soekarno lebih memilih mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sebagai wadah perjuangan idoelogi marhaenismenya, daripada bergbaung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang jelas-jelas mengusung misi sosialisme kiri di Indonesia. Kendatipun demikian, Soekarno tetap menjadi front liner revolusi Indonesia. Itulah sebabnya, mengapa saya lebih suka menyebut pemikiran kiri Soekarno yang ia bangun dalam MARHAENISME adalah sebuah PEMIKIRAN KIRI MODERAT INDONESIA. Marhaenisme adalah kristalisasi ideologi “Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi” yang khas Indonesia. Atau dengan kata lain, “marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia”.

Saya mengakui, pada sisi ini Soekarno benar-benar memerankan peran sebagai seorang revisionis yang baik. Ia mengambil kerangka filosofis pemikiran kiri Karl Marx dan Lenin, tetapi ia tidak menerapkannya secara kaku tanpa reserve pada konteks yang berbeda: Indonesia. Soekarno telah melakukan moderasi terhadap pemikiran kiri fundamentalis menjadi kiri moderat, yakni marhaenisme. Pada tahun 1926, Soekarno sendiri mengakuinya: “Adapun dari marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu!. Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bias mengadakan aturan-aturan yang bias terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau zaman ini berubah. Teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut”.

Pemikrian kiri revisionis semacam ini, sejatinya tidak hanya Soekarno di Indonesia. Tetapi juga banyak dijumpai di belahan bumi yang lain. Di Kawasan Amerika Latin, seperti Bolivia dan Venezuela, revolusi kiri tampak berbeda dengan yang dibayangkan Marx. Memang, pada umumnya, orang selalu mengaitkan pemikiran kiri dan sosialisme dengan Revolusi Oktober 1917 di Russia. Namun perkembangan pemikiran kiri di Asia dan juga Amerika Latin sungguh mengejutkan, bahkan membingungkan, karena mencerminkan kondisi revolusioner dan praktik sosialisme yang berbeda.

Bagi mereka yang masih berorientasi kepada model-model lama, dan hanya melihat satu cara menuju sosialisme, maka apa yang terjadi dengan Revolusi Indonesia dan Revolusi Bolivarian di Amerika Latin akan dianggap bukanlah ‘jalan yang benar’ untuk melaksanakan perubahan menuju sosialisme sejati. Karena kemenangan yang telah berhasil mengantarkan pemerintahan-pemerintahan revolusioner rakyat kepada kekuasaan diraih melalui pemilihan umum, bukan perjuangan bersenjata. Pelaksanaan pembangunan sosialisme tidak menempuh cara perencanaan yang bersifat terpusat atau sentralistik -dari atas ke bawah- sebagaimana halnya perencanaan negara yang bersifat birokratik. Hal yang sangat mencengangkan, adalah kenyataan bahwa revolusi tersebut tidak terlalu banyak diilhami oleh Marxisme, melainkan dibentuk oleh tradisi revolusioner penduduk asli Amerika Latin beberapa abad yang lampau. Sebut saja, Simon Bolivar memperoleh pemahaman tentang revolusi dari guru dan pembimbingnya, yaitu Simon Rodriguez dan Ezekiel Zamora yang merupakan pemimpin pemberontakan petani dalam perang pada tahun 1850-an dan 1860-an.

Moderasi pemikiran kiri, bukannya tidak pernah dipikirkan Marx. Sangat penting untuk memahami bahwa Marx sendiri tidak pernah memandang analisisnya yang kritis dengan cara yang kaku atau doktriner. Keberhasilan menuju masyarakat sosialis, menurut Marx, tidak pernah diraih dengan menggunakan “primbon” berupa teori historis-filosofis umum, yang hukum atau dalilnya bersifat supra-historis. Melainkan diraih berdasarkan dialektikanya dengan sejarah itu sendiri. Nyatanya, menghadapi perkembangan gerakan revolusioner di Russia pada akhir masa hidupnya, Marx tidaklah berupaya untuk memaksakan “model yang siap-pakai”, melainkan berupaya memahami kondisi historis yang spesifik di Russia.

Apa yang terjadi pada bilah pemikiran kiri dan gerakan revolusi Indonesia yang diperankan secara apik oleh Soekarno, dan gerakan revolusioner di belahan bumi lain seperti Amerika Latin merupakan bentuk perkawinan Marxisme dengan tradisi politik asli (lokal), sehingga -meminjam bahasa Marta Harnecker (2003)- melahirkan revolusi yang sui generis dan unik, bukan jiplakan. Moderatisme pemikiran politik Soekarno di tengah cita-cita revolusi Indonesia mulai diperkenalkannya pada tahun 1926, saat ia menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimua Majalah Indonesia Muda. Tampak jelas dalam judul tulisan itu bahwa Soekarno lebih mencintai persatuan antar ketiganya. Dengan demikian, tulisan Soekarno itu sejatinya adalah seruan untuk bersatu antara kelompok nasionalis, kelompok pergerakan Islam, dan kelompok pergerakan kiri (Marxisme) di Indonesia. Keinginannya untuk menyatukan kekuatan politik Indonesia itu nampaknya karena ia telah lama mengamati konflik antara Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika ia masih di Surabaya di bawah bimbingan H.O.S Tjokroaminoto, seorang petinggi SI. Saat itu, Soekarno menyaksikan pergulatan dua ideologi besar yang sebenarnya telah mengakar kuat di Indonesia: Islamisme dan Komunisme.

Sebagaimana ditulis oleh Peter Kasenda dalam buku ini, para tokoh pergerakan Indonesia sejatinya telah bersentuhan dengan pemikiran kiri sosialis yang berkembang di Belanda yang tergabung di dalam Partai Pekerja Sosial Demokrasi atau SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) yang didirikan di Amsterdam pada tahun 1894. Sejak berdiri, partai ini sudah mengkampanyekan peningkatan standar hidup rakyat di Hindia Belanda (Indonesia) agar benar-benar mandiri. Pada tahun 1901, dimana Soekarno baru dilahirkan, SDAP ikut memperjuangkan ketentuan-ketentuan tentang kesejahteraan dan politik etnis kolonial. Perjuangan para aktivis SDAP ini kemudian sampai ke telinga para tokoh pergerakan Indonesia, baik melalui percetakan-percetakan Belanda maupun persentuhan langsung dari aktivis SDAP yang tengah berada di Indonesia.

Perkembangan pemikiran kiri sosialis di Indonesia kemudian ditandai dengan berdirinya Serikat Sosial Demokrasi Hindia Belanda atau ISDV (Indiche Sociaal Democratische Vereeniging) pada tahun 1914, yang dipimpin oleh orang Belanda, Hendricus Josephus Fransciscus Marie Sneevliet yang dating ke Jawa pada tahun 1913. Akan tetapi, ISDV sulit berkembang karena dianggap bukan berasal dari pribumi. ISDV kemudian mendekat ke Serikat Islam (SI). Terjadi hubungan yang sangat harmonis antar keduanya, sebelum akhirnya terpecah karena ISDV dianggap lebih mementingkan revolusi internasional daripada kepentingan Indonesia setelah membentuk perserikatan Komunis di Hindia Belanda yang memiliki hubungan dengan pemimpin tertinggi komunis di Russia. Begitu juga sebaliknya, SI dituding lebih berpihak pada pan Islamisme ketimbang jeritan kaum proletar Indonesia.

Pengamatannya pada sejarah dialektika antara Islamisme dan komunisme menjadikan Soekarno memiliki pemikiran yang berbeda. Ia tetap memiliki landasan berpikir kiri, akan tetapi lebih mendasarkan diri pada persatuan nasional, sebagaimana H.O.S Tjokroaminoto, yang merupakan mertuanya. Pemikiran kiri Soekarno tidak serta merta Marxis, karena ia meletakan agama sebagai basis sosiologisnya, dan meletakan demokrasi sebagai basis politiknya. Juga meletakan nasionalisme sebagai basis ekonominya. Tetapi Marhaenisme juga tidak serta merta percaya pada demokrasi ala barat. Soekarno tidak percaya pada demokrasi barat karena baginya hanya menjamin kebebasan politik (liberalisasi), tetapi tidak menjamin keadilan ekonomi. Bahkan, demokrasi adalah payung dari kapitalisme, sesuatu yang sangat dibenci oleh Soekarno.

Pemikiran marhaenisme Soekarno kemudian dilanjutkannya dengan gagasan Pancasila, yang merupakan tawaran kelompok nasionalis di tengah pertentangan kelompok Islam dan Komunis terkait Piagam Jakarta. Melalui tawaran Pancasila, yang di dalamnya memuat prinsip-prinsip Ketuhanan, Humanisme, Kebangsaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial, Soekarno ingin meyakinkan kembali bahwa pemikirannya sangat berbeda dengan demokrasi liberal itu sendiri dan manifesto komunis. Sehingga jelas, bahwa pemikiran Soekarno berbeda dengan komunisme, meski memiliki akar genealogis yang sama. Karenanya, tetap saja, mencari akar pemikiran kiri dan revolusi Indonesia mau atau tidak mau, suka atau tidak, pastilah bersinggungan dengan pemikiran ekonomi-politik Soekarno ini: Marhaenisme!. Wallahu ‘alam bi al-Shawaab.

[1] Sekedar “Catatan Kecil”. Disampaikan pada bedah buku Sukarno, Marxisme, & Leninisme; Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia karya Peter Kasenda, di IAIN Walisongo Semarang, 23 September 2014.

[2] Menteri Koordinator Bidang Sosial-Politik dan Kebijakan Publik, BEM IAIN Walisongo Semarang, 2004-2005.

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar